Friday 26 December 2014

Jati Diri

Mendentumkan Jati Diri
(Sebuah Edisi di Malam Gulita Yang Bertanya Jati Diri Seorang Anak Manusia)

Di malam yang hampa, tak ada yang menemani kecuali denting jam yang berdenjut mesra, sekali-sekali terdengar derikan hewan. Sungguh, malam yang makin melarut dengan kepekatannya, kelam melebur makin menjad, hingga gulitanya malam tak mampu diinterpretasi oleh siapapun, kecuali Dia. Dari seluruh dimensi telah menunjukkan tajinya, taringnya pelan-pelan menerkam kehidupan, sunyi itu makin menjadi, serba pekat, kelam, dan tuslah semuanya mengembara di keheningan malam. Mungkin ini adalah malam yang ke sekian-puluh harinya, sekira duapuluh satu malam atau lebih bahwa perlakuan yang sama telah mengudara, entah apa yang menghantui diri, yang ada ialah keyakinan bahwa malam-malam seperti ini akan segera berlalu, mentari akan memunculkan cahayanya, menebarkan keindahan, memberikan kehangatan di kedinginan, menghapuskan lara ditengah derita, dan memberikan sepucuk kemenangan. 
Jika kau memohon pada keindahan malam maka harus mengharapkan keindahan cahaya. Ketika cahaya belum sempat memberi penerangan pada malam yang gemulai, apakah kau masih menunggu untuk datangnya keindahan dunia. Mungkin terlalu munafik jika hanya menunggu, itu berarti kau hanya menanti ketakpastian. Lantas seberapa jauh langkah yang telah kautempuh demi menggapai keindahan malam. Memangnya dunia ini  hanya menjadi hak milikmu pribadi sehingga alam dan seisinya seenakhati akan menuruti perintah dan titahkau. Belum pantas kiranya kau menyandingi keterbatasan hidup kau dengan penakluk semua isi jagat raya ini.
Adalah sebuah penipuan apabila kau hendak menjadi raja di atas raja, mungkin kau bisa saja menjadi raja di singgasana sehari-hari dalam kehidupan ini, tapi tidak lantas membuat kau berkuasa sepenuhnya. Ada kalanya batasan singgasana kehidupan kau harus di batasi dengan pembatas yang memberikan sebuah pengakuan bahwa kau hanya manusia. Jujur sajalah bahwa kau memang (masih) manusia biasa yang tidak memiliki apa-apa, kekuatan anda masih terbatas, kau masih tak mampu mengubah langit gulita menjadi terang benderang selama duapuluh empat jam penuh, tentunya kau masih minim pengalaman dalam memainkan peranan di dunia ini. Namun kau justru bermain licik dengan ilmu yang picik, mata yang memicik, hati yang mengusik, jiwa yang berisik, dan sungguh kau pemain yang munafik. Laknat!
Wajar saja bila kau masih memandang hidup ini adalah momen membahagiakan diri sepenuhnya, sibuk berpesat pora, membanggakan kemewahaan, dan lagi, dan lagi ingatlah bahwa logika dan kekuataan yang kaumiliki masih minim. Sungguh, kau harus masih mengeja pada apa yang diteteskan air hujan dengan bulir-bulir beningnya. Sungguh, kau masih harus menatap indahnya mentari yang bersinar tanpa lelah. Apa hendak yang kau sombongkan.

Bersambung... (nantikan versi fullnya di novelnya, insyallah.)